Sadika dan Secangkir Kerinduan Pukul Dua Pagi

Alexa
4 min readAug 22, 2021

Kata orang Sadika Dewanta itu orang hebat. Pribadinya ekspansif, dadanya lapang, juga berpendirian kuat.

Paket komplit, katanya. Padahal yang mereka lihat hanya sisi yang sengaja ia tampilkan saja. Tidak ada yang pernah tahu tentang betapa rapuh hatinya, atau tentang semua lara yang dipupuknya demi memenuhi semua asa yang telah dibebankan orang-orang di atas bahunya.

Dulu sekali Sadika punya Aruna untuk berbagi; berbagi sedihnya, berbagi bebannya, berbagi tawanya, berbagi tangisnya, berbagi segalanya setelah mereka mengikat janji sehidup semati di hadapan Tuhan.

But now everything doesn’t seems right, semuanya terasa lebih berat ketika Aruna pergi. Yes, she left. Sadika melepasnya, dia melepaskan Arunanya untuk mencari kebahagiaan lain, sebuah kebahagiaan yang tidak dapat Sadika berikan.

Pria itu melepasnya meskipun dengan berat hati, dengan harapan semoga sang wanita dapat menemukan apa yang tidak bisa Sadika berikan lewat kebebasan itu.

Kalau ditanya apakah terasa sulit apa tidak, doesn’t it seems super clear? Because yeah, you can clearly tell that it’s hard. Melepas Aruna Prameswari bukan perkara mudah untuk Sadika Dewanta.

He loves her wholeheartedly. She’s the one he wants to protect at all cost, he wants to make her happy no matter what it takes.

Orang-orang acap kali melabeli Aruna sebagai wanita tidak tau diuntung karena telah meninggalkan Sadika dengan segala rasanya sendirian, tapi lagi-lagi itu hanya sekedar manusia dengan asumsi sok tahunya. The fact that they know nothing at all about the nigthmares and worries that Aruna needs face every single day, but dare to judge her life is sickening.

Mereka tidak tahu menahu sedikit pun tentang seberapa banyak air mata yang telah ia tumpahkan untuk membuat dadanya terasa lega, juga berapa banyak rasa sakit yang Aruna terima selama ini akibat ketakutannya.

Mereka tidak tahu apapun tentang Sadika Dewanta maupun Aruna Prameswari tapi berlaga layaknya mereka paling tahu. bukankah streotip manusia memang seperti itu? They see themself as a God. They act like they know everything that happened but actually they have zero knowledge about it.

Mari kita sisihkan itu sebentar karena saat ini jarum jam menunjukan pukul dua lewat delapan menit dini hari, dan Sadika Dewanta sedang sibuk menyeduh kopi chemex favoritnya.

Hal ini kerap pria itu lakukan setelah perpisahannya dengan Aruna, rasanya seperti wanita itu masih ada di sini; menyeduh kopi alih-alih Sadika dan bersiap untuk menuangkan ide dalam otak cemerlangnya ke dalam tiga ribu atau mungkin lima ribu patah kata.

Aroma kopi yang menggugah selera memenuhi indera penciuman Sadika, membuatnya agak terlarut dalam memori kala Aruna masih tinggal disini, berada di bawah satu naungan atap yang sama dengannya.

Menghidu aromanya yang khas, Sadika kemudian menuangkan kopinya ke dalam cangkir setelah dirasanya kalau kopi itu telah siap untuk dihidangkan. Uap panas mengepul dari bibir gelas.

Sadika merapihkan perlatan membuat kopinya ke tempat semula. Pria itu lalu membawa cangkir berisi kopi panasnya turut serta ke ruang tamu dan meletakannya pada coffee table sembari mendudukan diri di sofa.

Matanya menatap ke arah luar, ke arah kaca besar yang menampilkan cahaya terang benderang dari berbagai gedung pencakar langit di ibu kota yang berhasil membuatnya bernostalgia. It was Aruna’s favorite view when she’s writing all of her books.

Dahulu Aruna kerap terbangun pada pukul dua pagi, menyeduh kopi chemex dan memenuhi seluruh bagian apartemen mereka dengan aromanya. Wanita itu kemudian akan duduk di sofa ini dengan posisi yang menurutnya nyaman dan laptop menyala di pangkuan hingga fajar menjemput.

Menuangkan ide luar biasanya ke dalam sebuah dunia baru lewat beribu-ribu patah kata yang ia ketikan; dimana air laut rasanya seperti kuah kari, where Neverland exist, dimana sihir itu bukan hal yang tabu atau sekedar imaji semata, and where happily ever after is true.

Aruna suka menulis. Bahkan rasanya ia bisa saja jatuh cinta pada menulis ketimbang pada Sadika tuturnya dahulu kala. Sejak remaja mimpinya menjadi penulis hebat yang dapat menginspirasi banyak orang layaknya Jonathan Stroud, John Green, ataupun Cecelia Ahern yang berhasil menyihirnya lewat bait per bait kalimat yang mereka tuliskan.

Aruna wants to be a person that someone talks about with sparks in their eyes.

Sadika tersenyum, wanita itu telah berhasil meraih mimpinya. Sebuah mimpi yang ia tuliskan di atas lembar konsep karier dengan Sadika sebagai saksinya bertahun-tahun silam.

He manage to take a sip of his coffee before putting it back on the coffee table, lengannya bergerak untuk menutupi sebagian wajahnya. Sebuah bulir kristal bening kembali turun dari sudut matanya, that night Sadika cries.

Pria itu rindu Aruna.

He missed her so fucking bad that he found it hard to do all the activities he used to do, semula seperti sebelum hadirnya memenuhi hari-hari Sadika.

“Runa,” lirihnya.

Apartemen yang dulunya terasa begitu hangat ini sekarang berubah dingin sekali, rasanya tidak lagi sama setelah ditinggalkan Aruna. Seakan sari-sari kehidupan ikut pergi bersama presensi wanita itu, wanita yang dulunya milik Sadika.

Sadika rindu Aruna.

Sadika rindu terbagun pada pukul tiga pagi hanya untuk berpindah tempat dari kasur ke sofa ruang tamu, kembali tertidur dengan paha Aruna yang berganti fungsi menjadi bantalnya. Sadika rindu suara tik yang dikeluarkan oleh keyboard laptop Aruna. Sadika juga rindu suara gerutuan wanita itu kala gagal menemukan kata yang pas untuk menggambarkan idenya.

Sadika rindu Aruna dan segala hal tentang wanita itu yang masih tersimpan rapih dalam benaknya, meskipun dia sudah menerima fakta bahwa Aruna Prameswari bukanlah lagi miliknya, bahwa Aruna Prameswari bukan lagi rumah untuk Sadika Dewanta dan hatinya berpulang.

— Fin.

--

--

Alexa
0 Followers

somewhat a narcissistic human being who enjoy writing.